Jumat, 04 Februari 2011

hak anak

KEKERASAN DI SEKOLAH; IRONI PENDIDIKAN DI INDONESIA[1]



Oleh: Fathuddin Muchtar[2]

Memprihatinkan. Demikian ungkapan yang paling singkat dan tepat diucapkan manakala kita berbicara tentang kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Berita-berita mengenai kekerasan terhadap anak di sekolah kerap mewarnai pemberitaan media cetak dan elektronik di Indonesia. Memprihatinkan karena sekolah yang dibuat untuk mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang “memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara[3]”, justru mendapatkan perlakuan kekerasan di lingkungan di mana dia belajar tentang moralitas, anti kekerasan dan sebagainya.


Sekolah disinyalir tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak
. Sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam 39,6 persen dari 95 kasus KTA (kekerasan terhadap anak), atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.[4] Ada kecenderungan, angka kekerasan terhadap anak di sekolah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tidak jelas pasti, apa penyebab peningkatan angka ini, namun yang pasti adalah anak-anak yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan, menjadi korban di tangan-tangan yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan mereka sehari-hari. Yang sering terdengar adalah demi mendisiplinkan anak-anak, maka dibutuhkan tindakan kekerasan. Tindakan pendisiplinan ini sering disebutkan dengan nama corporal punishment yang sesungguhnya berasal dari tradisi militer, yaitu penghukuman kepada copral (pangkat rendah di dalam struktur militer) yang melakukan pelanggaran.

Guru memang bukan satu-satunya pelaku kekerasan di sekolah. Perlakuan kekerasan juga memang kerap dilakukan oleh anak-anak terhadap teman mereka. Hanya saja memang angkanya tidak setinggi dengan pelaku dari kalangan guru. Juga harap diingat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak, jangan sampai juga membuat kita serta merta menyalahkan anak tersebut. Ada banyak faktor mereka (anak-anak di sekolah) berbuat kekerasan, antara lain adalah pengaruh lingkungan dan bahkan mungkin meniru guru-guru mereka yang juga ringan tangan terhadap murid-muridnya. Tentu tindakan anak-anak sekolah ini juga tidak bisa dibenarkan begitu saja.

Jika melihat jenis kekerasan yang dialami oleh anak di sekolah, setidak-tidaknya ada tiga macam, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik yag kerap kali diterima anak mulai dari dicubit, dihukum berdiri selama jam pelajaran, ditempeleng sampai melukai fisik dan bahkan mengakibatkan jiwa anak melayang. Seperti nasib tragis yang menimpa Eli Daili, murid kelas V SD Ciririp I, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Nyawa Eli melayang diduga lantaran digebuk oleh gurunya sendiri, Hd pada tanggal 23 Januari 2007[5]. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum guru, dengan alasan apapun tentunya tidak dapat dibenarkan, apalagi sampai mengakibatkan kematian muridnya.

Jenis kekerasan lainnya yang kerap diterima oleh murid sekolah adalah kekerasan psikis. Kekerasan ini biasanya dilakukan dengan sebatas kata-kata, akan tetapi dampaknya sangat luar biasa bagi anak. Anak-anak dicaci maki, diumpat, dihina karena tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tidak bisa menjawab pertanyaan guru dan sebagainya. Walaupun tidak menimbulkan luka fisik, kekerasan ini juga sangat mempengaruhi kehidupan anak. Anak-anak yang sering menerima perlakuan yang tidak selayaknya cenderung akan menjadi anak yang pasif, malas dan tidak mau bersosialisasi.

Dua kekerasan tersebut dia atas, umumnya bersumber dari keputusan untuk melakukan penghukuman terhadap anak, atau corporal punishment akibat anak tidak melakukan atau melakukan tindakan yang dianggap patut mendapatkan hukuman oleh guru.

Kekerasan lainnya yang tak kalah mengerikan adalah kekerasan seksual yang juga dilakukan oleh oknum guru. Pada tahun 2005, kami mendampingi 9 orang anak laki-laki yang menjadi korban pencabulan guru mengaji mereka di wilayah Kab. Magelang Jawa Tengah. Kemudian pada tahun yang sama, kami juga mendampingi 6 orang anak perempuan yang masih SD yang juga menjadi korban pencabulan guru olah raga mereka di sekolah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tidak hanya pada pencabulan, ada bahkan yang menjadi korban pemerkosaan, seperti yang terjadi di Pekanbaru pada akhir Oktober tahun 2007 lalu. Seorang oknum guru olah raga memperkosa muridnya di mushalla dengan alasan muridnya cantik, sehingga dia sangat tergila-gila padanya.[6]

Situasi umum dan jenis kekerasan yang menimpa anak-anak di sekolah membuat kita semuanya seharusnya bertanya, apa yang terjadi dengan system pendidikan kita? Apakah ini sekedar kesalahan oknum-oknum guru, atau kesalahan yang sudah sistemik di dalam system pendidikan yang ada? Saya tidak bermaksud menghakimi para guru yang hadir di forum ini (dan saya berharap tidak pernah dan akan melakukan tindak kekerasan pada muridnya). Saya hanya menggambarkan sebuah realitas yang harus kita perhatikan bersama, demi kelangsungan hidup dan perkembangan anak sebagaimana mestinya.



KONVENSI HAK ANAK; PERHATIAN DUNIA TERHADAP HAK ANAK

Pada tahun 1989 PBB mensahkan sebuah dokumen yang berisi tentang hak-hak anak yang diberi nama Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi ini merupakan perjanjian antar bangsa-bangsa mengenai hak-hak anak. Konvensi ini terdiri dari 54 pasal yang memuat hak-hak anak dan kewajiban Negara-negara peserta. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 193 negara didunia. Meratifikasi berarti terikat dengan isi konvensi dan akan melakukannya pada tingkat pemerintahan masing-masing Negara peserta.

Pada tanggal 25 Agustus 1990, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak. Keppres ini kemudian berlaku secara resmi pada bulan Oktober 1990 dan mengikat Indonesia untuk mengakui hak-hak anak sesuai yang ada di dalam Konvensi Hak Anak.

Konvensi Hak Anak membuat empat prinsip yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak, yaitu; Non diskriminasi, hak hidup dan kelangsungan hidup, kepentingan terbaik bagi anak dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Khusus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, di dalam pasal 37(a) dinyatakan bahwa “Tidak seorangpun anak akan menjadi sasaran penganiayaan atau perlakuan lain hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merusak.” Larangan penganiyaan maupun hukuman yang keji sebenarnya tidak hanya berlaku bagi anak, akan tetapi bagi seluruh orang, karena ini melanggar hak asasi manusia.

Secara umum konvensi ini memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap anak, agar anak dapat merasakan seluruh-hak-haknya, sehingga terjauh dari tindakan kekerasan, pengabaian dan sebagainya. Dengan demikian anak-anak dapat “menjalani hidup sebagai pribadi dalam masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya semangat perdamaian, penghargaan atas martabat manusia, saling menghargai, kebebasan dan kesetiakawanan.”[7]



PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Jika berbicara tentang perlindungan anak di Indonesia, maka salah satu rujukannya adalah UU. No. 23 tahun 2002 tentag perlindungan anak. Undang-undang ini sedikit banyak mengadopsi beberapa isi yang ada di dalam konvensi hak anak. Meskipun undang-undang ini telah berusia kurang lebih 6 tahun, akan tetapi harus diakui bahwa masih sangat banyak pihak yang belum mengetahuinya. Jangankan masyrakata luas, para birokrat yang berada di dalam pemerintahan belum semuanya pernah membaca undang-undang ini.

Dalam kaitan dengan kekerasan yang menimpa anak-anak, undang-undang ini memberikan ketentuan yang sangat tegas. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 dinyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.

Pasal 54

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Jika melihat undang-undang tersebut, sesunggunya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hokum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.



KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Melihat realitas yang ada, maka mulai saat ini tindakan-tindakan kekerasan yang dibungkus dengan jargon “mendidik anak” harus dihentikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kekerasan yang menimpa anak, apapun bentuknya sesungguhnya sangat merugikan anak, karena akan mempengaruhi pertumbuhan fisik, psikis dan dunia anak. Di samping itu tindakan kekerasan juga sebenarnya dilarang oleh undang-undang, sehingga siapapun yang melakukan tindak kekerasan kepada anak berhak melaporkannya kepada pihak yang berwajib sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Untuk mencegah semakin seringnya terjadi tindak kekerasan terhadap anak, maka perlu dilakukan pertama; diseminasi/kampanye tentang hak-hak anak, baik kepada masyarakat, guru dan bahkan juga kepada para pengambil kebijakan di tingkat local. Yang kedua; peran orangtua dan organisasi masyarakat sangat penting untuk memantau proses belajar anak di sekolah, apakah terjadi kekerasan atau tidak. Yang terakhir; mendesak instansi terkait (Dinas Pendidikan) agar membuat larangan penghukuman fisik bagi anak-anak di sekolah. Guru tidak dilarang untuk menghukum anak yang melanggar aturan sekolah, akan tetapi hukuman yang diberikan seharusnya yang dapat mengembangkan dirinya, bukan menciderai fisik dan psikisnya seperti yang selama ini terjadi.

[1] Catatan singkat untuk pengantar diskusi pada “Seminar Penghentian Kekerasan terhadap Anak di Sekolah dan Lembaga Pendidikan” oleh KPAID Pekanbaru, 20 November 2008.

[2] Staff Yasasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Yogyakarta. SAMIN adalah salah satu organisasi non pemerintah yang didirikan pada tahun 1987 dengan focus kegiatan kampanye pemenuhan hak-hak anak di Indonesia.

[3] Pasal 1 UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[4] KPAI; http://www.kpai.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=196&Itemid=191〈=

[5] http://www.detikfinance.com/read/2007/01/26/143627/735122/10/eli-murid-kelas-v-sd-tewas-diduga-dipukul-pak-guru-hendro

[6] http://www.detikinet.com/read/2007/11/08/173155/850160/10/guru-sd-perkosa-murid-di-mushola

[7] Mukaddimah Konvensi Hak Anak

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites